Senin, 26 Januari 2015

Asuransi dalam Pandangan Majlis Tarjih Muhammadiyah


Asuransi dalam Pandangan Majlis Tarjih Muhammadiyah
asuransi pada saat sekarang ini dapat dikatakan telah menjadi sebuah bentuk keharusan. Karena asuransi dengan berbagai macam bentuknya telah merambah berbagai segi kehidupan manusia, baik itu disektor perdagangan, industri, pertanian, maupun disektor-sektor ekonomi dan non ekonomi yang lain seperti transportasi, tempat tinggal dan jiwa. Balikan dalam  hal-hal tertentu, ketentuan penggunaan asuransi ini sudah merupakan aturan baku yang telah ditetapkan melalui undang-undang.[1] Sehingga sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya asuransi itu ditinjau dari sudut pandang syariah. Dalam makalah ini kami akan membahas sedikit tentang apa itu asuransi serta bagian-bagian yang ada didalamnya.
Menurut Pasal 246 KUHD Republik Indonesia: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberi penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.[2] Dari rumusan itu dapat dipahami bahwa dalam asuransi terlihat atau terdapat dua pihak, yaitu penanggung dan tertanggung. Pihak pertama biasanya berwujud lembaga atau perusahaan asuransi, sedangkan pihak kedua adalah orang yang akan menggunakan jasa asuransi tersebut. Sebagai kontra prestasi dari pertanggungan ini pihak tertanggung diwajibkan membayar uang premi kepada pihak penanggung.
Ada berbagai macam bentuk asuransi, diantaranya asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Asuransi kerugian berhubungan dengan resiko-resiko yang selain terdapat pada jiwa, contohnya seperti asuransi kebakaran, kecelakaan kerja dan lain-lain. Kongkritnya, pertanggungan dalam asuransi ini ialah benda atau barang yang dapat dinilai dengan uang. Sedangkan asuransi jiwa ialah asuransi dimana yang dipertanggungkan didalamnya adalah kerugian-kerugian ekonomi atau keuangan sebagai akibat hilangnya jiwa atau karena usia lanjut. Yang disebut terkhir ini mencakup juga asuransi sosial yang bertujuan untuk menjamin anggota keluarga, jika kepala keluarga meninggal dunia, atau bertujuan menabung yang hasilnya akan diambil setelah orang itu tidak ada atau telah berusia lanjut.[3]
Disadari oleh Muhammadiyah bahwa asuransi merupakan bentuk muamalah yang baru, Karena itu masalahnya menjadi mas’alat ijtihadiyat. Memang asuransi baru dikenal didunia timur pada abad ke-19 Masehi.[4] Pengkajian terhadap masalah ini harus seksama dan menggunakan penalaran yang sehat, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip yang termaktub dalam Al-Quran dan Hadits. Dalam membahas masalah ini berbagai metode ijtihad perlu digunakan. Ijtihad sendiri secara etimologi diambil dari kata dasar (mujarrad)-nya al-jahd atau al-juhd yang berarti al-masyaqqah yaitu kepayahan, kesulitan atau kesungguhan.[5] Menurut Ibn Manzur, bahwa al-ijtihad atau at-tahajud berarti mencurahkan kesanggupan dan kesungguhan yang mengikuti wazan al-ifti’al dari kata dasarnya al-juhd, yaitu kemampuan.
Dari pengertian etimologi diatas, tampak ada dua unsur pokok dalam ijtihad: pertama, daya   atau kemampuan. Kedua, objek yang sulit dan berat. Daya atau kemampuan disini dapat diaplikasikan secara umum, meliputi daya fisisk material, mental spiritual dan nalar intelektual.[6] Ijtihad sebagai terminologi keilmuan dalam Islam, lebih bertumpu pada aktivitas nalar-intelektual, maka pengertian ijtihad lebih banyak mengacu kepada pengerahan kemampuan nalar-intelektual dalam memecahkan berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi oleh individu atau umat secara menyeluruh.[7]
Fungsi utama ijtihad adalah mengistimbatkan (mencari, menggali, dan menemukan) hukum syara’ yang belum tertera di dalam Al-Quran dan Hadits. Ijtihad menjadi tujuan bagi pembaharuan dalam pemikiran Islam, yang menimbulkan liberalism, yaitu keinginan melepaskan diri dari ikatan mazhab, karena tidak sanggup menghadapi perubahan.[8] Pelaksanaan ijtihad merupakan upaya pembumian ajaran Islam, dari nash yang normatif-teoritis kedalam tataran empiris-praktis yang siap pakai. Disisi lain, ijtihad merupakan upaya mencari relevansi pemberlakuan hukum Islam sesuai dengan substansi dasarnya, dalam kehidupan manusia yang selalu mengalami perubahan. Melalui ijtihad, hukum Islam akan selalu up to date dan fungsional dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Dalam masalah asuransi ini muhammadiyah berpendapat, bahwa asuransi itu hukumnya mubah, apabila asuransi itu bersifat sosial. Hadits Nabi Muhammad SAW: Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, dia berkata : Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut bersama janin yang dikandungnya. Maka, ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW. memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR. Bukhari). Sedangkan asuransi yang mengandung unsur riba, judi dan penipuan hukumnya haram.[9]  

Pada Muktamar Tarjih Muhammadiyah di Malang tahun 1989, muhammadiyah memutuskan mengharamkan asuransi yang mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Adapun unsur riba yang terdapat dalam asuransi, menurut muhammadiyah, adalah adanya kelebihan penerimaan jumlah santunan daripada premi yang dibayarkan. Sedangkan unsur judi yang terdapat didalam asuransi, menurut pengamatannya, ialah adanya sifat untung-untungan bagi tertanggung yang menerima jumlah tanggungan yang lebih besar daripada premi ataupun sebaliknya, penanggung akan menerima keuntungan, jika dalam masa pertanggungan tidak terjadi peristiwa yang telah ditentukan dalam perjanjian. Sementara itu yang termasuk kedalam unsur penipuan, menurutnya, adalah adanya ketidakpastian apa yang akan diperoleh si tertanggung sebagai akibat dari apa yang belum tentu terjadi. Dengan demikian muhammadiyah tidak mengharamkan asuransi secara mutlak dan tidak pula menghalalkan secara mutlak.

Apakah asuransi jiwa identik dengan judi? Nampaknya muhammadiyah tidak menetapkan secara tegas tentang ada atau tidaknya unsur judi dalam asuransi. Diakui oleh muhammadiyah, dilihat dari segi perolehan uang jaminan yang jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan premi yang telah diberikan tertanggung, memang hampir sama dengan taruhan dalam perjudian. Akan tetapi, menurut pandangan muhammadiyah terdapat perbedaan yang mendasar diantara keduanya. Dalam judi, penjudi itu selalu mengharap keuntungan dan menang dalam taruhannya, sedang dalam asuransi, pemegang polis tidak ingin memperoleh sejumlah uang dengan dengan memikul resiko mati atau peristiwa yang merugikan orang lain. Kemudian, dalam judi biasanya akan timbul rasa permusuhan dan kebencian antar sesama penjudi atau antara penjudi dengan bandarnya, sedangkan dalam asuransi, khususnya asuransi jiwa, tidak terdapat unsur tersebut. Bahkan asuransi biasanya membawa kepada ketentraman bagi para pemegang polis. Berikut tabel beberapa perbedaan asuransi dengan judi, antara lain:


Asuransi
Judi
1. Bertujuan mengurangi risiko yang sudah ada.

2. Bersifat sosial terhadap masyarakat, dapat memberikan keuntungan-keuntungan tertentu
kepada masyarakat.

3. Besarnya risiko dapat diketahui dan dapat diukur kemungkinan besarnya.

4. Kontraknya tertulis dan mengikuti kedua belah pihak.
1. Risiko semula belum ada dan baru muncul sesudah orang ikut berjudi.

2. Bersifat “tidak sosial”, bisa mengacaukan rumah tangga atau masyarakat.

3. Besarnya risiko tidak dapat diketahui dan tidak dapat diukur kemungkinannya.

4. Kontrak tidak tertulis dan realisasinya tergantung itikad baik masing-masing pihak yang terlibat.

 Jadi, Mengenai adanya unsur riba dalam asuransi jiwa, muhammadiyah memandang pada kelebihan penerimaan jumlah santunan daripada pembayaran premi, baik yang diterima langsung oleh tertanggung maupun oleh ahli warisnya. Bahkan organisasi ini menegaskan, bahwa mengambil sesuatu yang mashlahat sangat dianjurkan dalam Islam, sehingga akan menghindarkan dari kemadaratan. Maka dari itu, hendaknya kita tidak terburu-buru mengambil suatu keputusan selama dalam hal tersebut masih memilki nilai manfaat bagi orang lain. Karena pada hakikatnya fiqh sendiri mengajarkan kita untuk bersifat humanis. Sedangkan dalam masalah halal ataupun haram itu sendiri, hendaknya kita sebagai konsumen lebih cermat dalam memilih atau menggunakan suatu produk agar dalam pemanfaatannya pun tidak salah dan akan lebih optimal serta bermanfaat untuk kehidupan dimasa yang akan datang.


























Daftar Pustaka:
Djamil Fathurrahman. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos Publishing House.
Haerisma Alvien Septian. 2010. “Mendesain Nilai Syariah dalam Asuransi”.
Hasyim Muh. Fathoni. 2013. Pemikiran Hukum Islam Imam Al-Bukhari. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munawwir A.W. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif.
Rusli Nasrun. 1999. Konsep Ijtihad asy-Syaukani. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Sodikin Ali. 2012. fiqh ushul fiqh Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta: Beranda Publishing.




[1] Alvien Septian Haerisma, “Mendesain Nilai Syariah dalam Asuransi”, 2010. hlm 2-3.
[2] Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
[3] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), hlm 133.
[4] Masyfuk Zuhdi, op. cit., hlm 126, sebagaimana dikutip, Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), hlm 134.
[5] A.w. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, cet. 14 (Surabaya: Pustaka Progresif,1997), hlm 26.
[6] Muh. Fathoni Hasyim, Pemikiran Hukum Islam Imam Al-Bukhari (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm 64.
[7] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad asy-Syaukani (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm 74-75.
[8] Ali Sodikin, fiqh ushul fiqh Sejarah, Metodologi, dan Implementasinya di Indonesia (Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012), hlm 89.
[9] Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus, hlm 45, sebagaimana dikutip, Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), hlm 1
- See more at: http://tipslib.blogspot.com/2013/08/membuat-catatan-kaki-artikel-blog.html#sthash.PESBliBs.dpuf